Di Jombang, meskipun tak ada rumah makan atau
restaurant sekelas KFC, McD, atau HC seperti di dekat Air Mancur yang
ada di Bogor dan kota-kota besar lainnya, namun bukan berarti di Jombang
tak ada makanan-makanan enak. Di Jombang banyak sekali jenis-jenis
makanan yang menggugah selera seperti halnya di kota-kota lain.
Persoalannya, makanan apa yang khas yang sekaligus bisa menunjukkan
“identitas nJombang”, itu yang membuat saya tambah bingung lagi.
Ada Nasi Pecel tetapi masih kalah tenar dengan Pecel
Madiun meskipun penjual Nasi Pecel di Jombang jumlahnya seabrek dari
kelas emperan sampai kelas depot atau cafe. Bahkan mata belum melek
beneran atau pagi-pagi buta kita akan mudah mendapatkan Nasi Pecel. Kaum
ibu dan si mbok-mbok dengan sepeda onthel banyak yang menjajakan Nasi
Pecel ke kompleks-kompleks perumahan, tempat kost dan ngetem di beberapa ruas jalan. Di Jombang penjual Nasi Pecel banyak yang ngetem
di perempatan Jalan Wahid Hasyim persis dekat Rumah Sakit Umum Daerah.
Sedangkan yang tempat berjualannya permanen yang paling enak menurut
lidah saya ada di Depot Giri Jaya di Jalan Merdeka. Lauknya cukup
komplet dan kebersihannya cukup terjamin.
“Kring kring kring, cel pecel, pecele Mas!” Itu
kata-kata yang sering saya dengar dulu dari ibu-ibu dan si mbok-mbok
penjual Nasi Pecel keliling setiap pagi dengan sepeda onthelnya ketika
melintas di depan asrama pondokan saya.
Lalu di Jombang juga ada Soto, tetapi masih kalah
meng-Indonesia dengan Soto Lamongan meskipun di Jombang ada Soto Pak
Loso yang menurut lidah saya lebih enak dari pada Soto Lamongan yang ada
di kawasan Lingkar Kampus Darmaga Bogor yang rasanya gak ngalor gak ngidul itu.
Berikutnya Sate. Di Jombang dulu ada Sate Ringin
Contong, sebab berjualannya di sekitar Ringin Contong. Kemudian juga
Sate H. Faqih di kawasan Pesantren Tebu Ireng, di seberang PG Tjoekir
yang pernah diulas oleh Raja Wisata Kuliner, Bondan Winarno. Namun kedua
jenis sate tersebut masih kalah mendunia dengan Sate Madura. Terkait
dengan Sate Madura ini, dulu ada guyonan kawan sekamar asrama pondok
yang asli Sumenep Madura. Mengapa pesawat jarang terbang ke Madura?
Jawabnya, sebab kalau terbang ke Madura, pesawat sering terjebak asap di
udara Madura karena penjual Sate Madura sedang membakar sate! Ini
saking banyaknya penjual sate di Madura.
Makanan berikutnya adalah Bakso. Bakso masih kalah
tenar dengan aneka Bakso Malang (di Jombang ada Bakso Bakar Malang dan
Bakso Cak Man Malang) atau Bakso Solo. Namun di Jombang sebenarnya ada
bakso yang sangat terkenal dan cukup legendaris (setidaknya saya
mengenalnya dan sering mencicipinya sejak saya kanak-kanak), yaitu Bakso
Nuklir yang “digawangi” Haji Sumarto alias Cak To Nuklir yang berada
persis di seberang RSK atau Rumah Sakit Kristen Mojowarno. Dulu ketika
saya masih SD (1984-1990), saya sering mendengar promosi Bakso Nuklir
lewat Radio Khusus Pemerintah Daerah (RKPD) Jombang. Disebut Bakso
Nuklir sebab baksonya memang ukurannya jumbo dan rasanya tak sekadar
“nendang” tetapi “meledak” dahsyat, sedahsyat letusan bom nuklir.
Selanjutnya ada Sego Sadhukan. Ini mungkin khas
Jombang, tetapi kayaknya tak etis menjamu tamu jauh dengan Sego Sadhukan
atau kalau di kawasan Malioboro Ngayogjakarta Hadiningrat disebut
sebagai Nasi Kucing. Makan Sego Sadhukan bisa menjadi alternatif jika
memang kantong benar-benar kering dan perut benar-benar keroncongan.
Sego Sadhukan adalah nasi bungkus yang isinya sekepal
nasi, ada mie, lauk tahu-tempe diiris kecil-kecil, dan kadang-kadang
ada ikan terinya. Sadhukan artinya tendangan, mungkin karena porsinya
yang minimalize itulah dinamakan Sego Sadhukan, sekali tendang langsung bisa mencelat jauh
atau sekali santap langsung habis. Dulu di kawasan Simpang Tiga atau
Pertigaan Tugu Adipura dan juga sekitar Stasiun dan Alun-alun kalau
malam hari Sego Sadhukan mudah didapatkan. Karena harganya murah maka
sangat cocok bagi anak kost yang uangnya pas-pasan.
Then, the next badhokan di Jombang yang
sempat saya ingat dan mungkin paling enak dan unik adalah makanan yang
di masa kecil sering saya santap, yaitu Soto Dok. Ya, Soto Dok ini tak
jauh beda dengan makanan sejenis soto lainnya, bahan dasarnya tetap dari
daging. Namun sepertinya ada bahan tambahan atau racikan yang agak beda
dengan soto lainnya. Soto Dok rasanya lebih “seksi” sebab kuahnya tak
terlalu mblenek seperti jenis soto lainnya. Dan yang tak pernah
terlupakan, ada taogenya yang menjadi “aksesoris” Soto Dok dan mungkin
ini membuat beda dengan soto lainnya.
Dinamakan Soto Dok karena penjualnya melayani pembeli
dengan cara yang unik yaitu setelah menuang kecap dari botol ke dalam
mangkuk langsung meletakkan kembali botol kecap dengan cara yang keras
seperti menggebrak atau membanting botol kecap ke meja hingga
menimbuklan bunyi: DOK! Pembeli pemula atau yang tak biasa tentu akan
kaget dan mengira penjualnya kasar.
Dulu, ketika masih kecil saya seringkali diajak orang
tua ke Pasar Lama Mojoagung, pasar di kampungnya Ustadz Abu Bakar
Ba’asyir (sekarang sudah dipindah 1 km ke arah barat). Di pasar itulah
saya seringkali diajak andok menikmati Soto Dok. Seingat saya, stand
atau tempat berjualannya permanen di tengah-tengah pasar. Penataannya,
kursi panjang mengelilingi meja panjang dan lebar yang di atas meja
ditaruh berbagai abrakan atau perkakas termasuk panci penjerang kuah,
tempat nasi dan lainnya. Bentuknya tetap mirip penjual soto keliling
yang dipikul, apalagi pikulan atau alat pemikul masih ditata sedemikian
rupa di atas meja. Bentuk pikulan-nya yang terbuat dari bambu dan
berhias rotan melengkung dan memanjang, terkesan mirip sekali lengkungan
atap Rumah Minang.
Selain itu, di sepanjang Jalan Wahid Hasyim kawasan
Jombang kota dulu juga banyak penjual Soto Dok, biasanya menjelang
petang penjual Soto Dok kaki lima mulai menggelar dagangannya. Apalagi
di Pujasera atau Kebonrojo, dulu banyak juga yang penjual Soto Dok.
Kebetulan selama hampir dua tahun, tahun 1993-1995, saya indekost di
seberang Pujasera, tepatnya di dekat pintu gerbang sebelah utara
Pujasera. Jadi dulu setidaknya tahu persis jenis makanan yang dijual di
situ, terutama jenis makanan yang murah!
Demikian juga, dulu di Jalan Pattimura tepat di
seberang SMP Negeri I Jombang atau SMK Negeri 3 (dulu STM Negeri
Jombang), juga ada penjual Soto Dok yang buka tenda setelah maghrib,
yang harganya ketika tahun 1995-1996 Rp. 400,- plus Es Teh Rp. 150,-.
Cukup terjangkau, apalagi Jalan Pattimura merupakan salah satu kawasan
sekolah yang ramai dan padat, jadi banyak pelanggan dari anak sekolah
yang indekost di sekitar situ.
Beberapa waktu yang lalu, saya juga mendapati penjual
Soto Dok di Jakarta, iseng-iseng tanya ke penjualnya, ternyata
penjualnya orang Jombang juga, tapi saya lupa Jombang mana dia berasal.
Sementara di Kota Surabaya juga banyak penjual Soto Dok meskipun yang
jualan bukan orang Jombang.
Nah, beberapa waktu yang lalu ada grenengan yang saya dengar,
kalau Soto Dok ini akan ditetapkan menjadi makanan khas Jombang. Bahkan
Bupati Jombang, dengar-dengar mau membuat Perdanya, disamping Perda
Ludruk (bukan Ludruk Perda) sebagai upaya untuk melestarikan kesenian
Ludruk yang memang cikal bakalnya dari Jombang. Saya kurang begitu jelas
Perda tentang Soto Dok nanti seperti apa, dan pelaksanaannya nanti
bagiamana, namanya juga masih grenengan.
Namun yang jelas tujuan seperti itu sangat baik untuk
memperkenalkan salah satu jenis kuliner Jombang untuk lebih
mengindonesia. Mungkin juga dari Soto Dok ini bisa mencari “identitas
nJombang” yang selama ini masih remeng-remeng. “Pengakuan” atas Soto Dok
sebagai makanan khas Jombang setidaknya akan mendukung wisata Jombang
dan terutama secara ekonomi, akan mampu meningkatkan perekonomian warga
Jombang, setidaknya bagi penjual Soto Dok dan petani-peternak. Lho, kok
petani-peternak? Ya, sebab yang dijual adalah nasi dan bahan dasar utama
Soto Dok adalah daging, jadi jangan dilupakan petani-peternaknya!
(Junaidi)