Reporter : Yusuf Wibisono
Jombang (beritajatim.com) - Bagi kebanyakan
orang, KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur adalah tokoh pluralisme. Namun
tidak demikian dengan pandangan Inayah Wahid. Putri Gus Dur ini
menyebut bapaknya adalah tokoh humanisme atau kemanusiaan.
"Jadi saya sendiri tidak sepakat jika Gus Dur disebut tokoh pluralisme. Bapak saya tidak pernah membela pluralisme, tapi beliau membela kemanusiaan. Jadi lebih tepat kalau Gus Dur disebut bapak humanisme," kata Inayah saat menjadi pembicara sarasehan peringatan empat tahun meninggalnya Gus Dur di Klenteng Hong San Kiong, Gudo, Jombang, Sabtu (7/12/2013).
Inayah melanjutkan, selama hidup Gus Dur memang getol membela kelompok minoritas, salah satunya adalah golongan Tionghoa. Namun menurutnya yang dibela cucu pendiri NU tersebut bukan pluralismenya, melainkan kemanusiaan. "Gus Dur membela Tionghoa dan kelompok minoritas lainnya, karena mereka adalah manusia," katanya menambahkan.
Inayah masih ingat, saat bapaknya masih hidup pernah berpesan, jika meninggal kelak Gus Dur meminta makamnya ditulisi tokoh humanisme. Hanya saja, hingga saat ini pesan itu belum terlaksana. "Jadi sekali lagi, yang dibela Gus Dur itu manusianya," ujar putri bungsu Gus Dur ini.
Di hadapan forum, Inayah juga bercerita panjang lebar tentang metode Gus Dur dalam mendidik anak-anaknya. Menurutnya, seluruh anak Gus Dur diperlakukan sama. Gus Dur juga tidak pernah memaksakan keinginannya kepada sang buah hati.
"Demokrasi sudah diajarkan Gus Dur sejak dalam keluarga. Beliau tidak pernah memaksa anaknya harus ini dan itu. Kami hanya dikasih gambaran umum, setelah itu anaknya sendiri yang akan memilih," katanya berkisah.
Sementara itu, Joaquin F. Monseratte, Konjen Amerika Serikat yang juga menjadi pembicara dalam sarasehan itu menyamakan Gus Dur dengan tokoh kemanusian asal Afrika Selatan yang baru saja meninggal dunia, Nelson Mandela. "Kami sangat kehilangan meninggalnya dua tokoh tersebut. Gus Dur dan Nelson Mandela sama-sama pejuang kemanusiaan," ujarnya.
Selain Inayah dan Joaquin F. Monseratte, tiga pembicara lain yang tampil adalah KH Salahuddin Wahid (Pengasuh Ponpes Tebuireng), Putu Sutawijaya (Seniman), serta Bingky Irawan (tokoh pluralis). Usai saresehan seluruh tokoh lintas agama dan hadirin menggelar doa bersama di depan Klenteng Hong San Kiong. Doa tersebut ditujukan khusus untuk Gus Dur.
Digelarnya peringatan empat tahun meninggalnya Gus Dur di Kleteng Gudo mendapat sambutan positif dari masyarakat setempat. Salah satunya adalah Ketua IPSNU (Ikatan Pencak Silat Nahdlatul Ulama) Kecamatan Gudo, Dimas Cokro Pamungkas atau Gus Dimas. Dia berharap acara serupa bisa digelar rutin tiap tahun. Dengan begitu, nilai-nilai perjuangan Gus Dur semakin membumi di Indonesia.
"Karena Gus Dur bukan hanya milik warga nahdliyin. Gus Dur sudah menjadi bapak bangsa, sehingga seluruh kotmponen bangsa ini iku memiliki. Kami juga sepakat kalau bulan Desember dijadikan bulan Gus Dur," ujar Gus Dimas ketika ditemui terpisah. [suf/kun]
"Jadi saya sendiri tidak sepakat jika Gus Dur disebut tokoh pluralisme. Bapak saya tidak pernah membela pluralisme, tapi beliau membela kemanusiaan. Jadi lebih tepat kalau Gus Dur disebut bapak humanisme," kata Inayah saat menjadi pembicara sarasehan peringatan empat tahun meninggalnya Gus Dur di Klenteng Hong San Kiong, Gudo, Jombang, Sabtu (7/12/2013).
Inayah melanjutkan, selama hidup Gus Dur memang getol membela kelompok minoritas, salah satunya adalah golongan Tionghoa. Namun menurutnya yang dibela cucu pendiri NU tersebut bukan pluralismenya, melainkan kemanusiaan. "Gus Dur membela Tionghoa dan kelompok minoritas lainnya, karena mereka adalah manusia," katanya menambahkan.
Inayah masih ingat, saat bapaknya masih hidup pernah berpesan, jika meninggal kelak Gus Dur meminta makamnya ditulisi tokoh humanisme. Hanya saja, hingga saat ini pesan itu belum terlaksana. "Jadi sekali lagi, yang dibela Gus Dur itu manusianya," ujar putri bungsu Gus Dur ini.
Di hadapan forum, Inayah juga bercerita panjang lebar tentang metode Gus Dur dalam mendidik anak-anaknya. Menurutnya, seluruh anak Gus Dur diperlakukan sama. Gus Dur juga tidak pernah memaksakan keinginannya kepada sang buah hati.
"Demokrasi sudah diajarkan Gus Dur sejak dalam keluarga. Beliau tidak pernah memaksa anaknya harus ini dan itu. Kami hanya dikasih gambaran umum, setelah itu anaknya sendiri yang akan memilih," katanya berkisah.
Sementara itu, Joaquin F. Monseratte, Konjen Amerika Serikat yang juga menjadi pembicara dalam sarasehan itu menyamakan Gus Dur dengan tokoh kemanusian asal Afrika Selatan yang baru saja meninggal dunia, Nelson Mandela. "Kami sangat kehilangan meninggalnya dua tokoh tersebut. Gus Dur dan Nelson Mandela sama-sama pejuang kemanusiaan," ujarnya.
Selain Inayah dan Joaquin F. Monseratte, tiga pembicara lain yang tampil adalah KH Salahuddin Wahid (Pengasuh Ponpes Tebuireng), Putu Sutawijaya (Seniman), serta Bingky Irawan (tokoh pluralis). Usai saresehan seluruh tokoh lintas agama dan hadirin menggelar doa bersama di depan Klenteng Hong San Kiong. Doa tersebut ditujukan khusus untuk Gus Dur.
Digelarnya peringatan empat tahun meninggalnya Gus Dur di Kleteng Gudo mendapat sambutan positif dari masyarakat setempat. Salah satunya adalah Ketua IPSNU (Ikatan Pencak Silat Nahdlatul Ulama) Kecamatan Gudo, Dimas Cokro Pamungkas atau Gus Dimas. Dia berharap acara serupa bisa digelar rutin tiap tahun. Dengan begitu, nilai-nilai perjuangan Gus Dur semakin membumi di Indonesia.
"Karena Gus Dur bukan hanya milik warga nahdliyin. Gus Dur sudah menjadi bapak bangsa, sehingga seluruh kotmponen bangsa ini iku memiliki. Kami juga sepakat kalau bulan Desember dijadikan bulan Gus Dur," ujar Gus Dimas ketika ditemui terpisah. [suf/kun]